Ngeri! Rumah Korban Banjir Jadi Sarang Buaya

Ngeri! Rumah Korban Banjir Jadi Sarang Buaya

Jumlah pengungsi di Kecamatan Weliman bertambah dari 1.195 orang menjadi 2.210 orang menyusul meluapnya Sungai Benanain di Kecamatan Malaka Barat, Belu, Nusa Tenggara Timur, dalam lima hari terakhir. Sementara itu, pengelolaan bantuan bahan makanan untuk pengungsi di lokasi pengungsian tidak jelas. Di lokasi pengungsian masih tersedia ratusan kilogram beras, tetapi tidak dibagikan kepada pengungsi.

Rumah-rumah di Desa Umatoos, Favoe, Lasaen, dan Sikun, Kecamatan Malaka Barat, yang ditinggalkan penghuninya karena luapan banjir Sungai Benanain, kini menjadi tempat bertelur buaya muara. Rumah-rumah itu pun sudah tidak layak huni karena sebagian besar dalam kondisi rusak berat.

Fasilitator Teknis Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kabupaten Belu, Herlin Kiik, di Atambua, Selasa (17/5/2011), mengatakan, empat desa itu sudah sepi, tidak ada penghuni sama sekali karena hampir seluruh desa terendam air Sungai Benanain.

Desa-desa itu sudah menjadi kawasan muara. Buaya muara dan penyu belimbing pun mulai bertelur di dalam rumah-rumah yang ditinggalkan warga. Bahkan, ada buaya tinggal di dalam rumah itu.

Kondisi ini sangat membahayakan warga setempat, terutama pemilik rumah yang sewaktu-waktu ingin kembali melihat kondisi rumah mereka. Rumah mereka digenangi air Sungai Benanain sehingga tidak dapat terpantau secara keseluruhan.

Luapan Sungai Benanain tidak pernah berhenti dalam lima hari terakhir. Banjir itu datang secara mendadak dan meluber ke sejumlah dataran rendah, termasuk rumah penduduk. Entah hujan atau tidak, sebagian besar wilayah tiga desa yang berdekatan itu selalu digenangi air akibat luapan Sungai Benanain. Tanggul penahan sungai, yang dibangun pemerintah tahun 2005-2006 untuk pengairan setempat, jebol pada Februari 2011.

Ratusan keluarga yang tadinya bertahan di rumah masing-masing terpaksa mengungsi, bergabung dengan rekan-rekan mereka yang sudah hampir sebulan berada di Weliman. Jumlah mereka di pengungsian sudah mencapai 2.210 orang. Namun, sebagian warga dari tiga desa ini masih bertahan di rumah keluarga di Besikama yang bebas dari luapan Sungai Benanain, kata Kiik.

Sementara itu, Desa Motaain, yang bersebelahan dengan empat desa yang sudah mengungsi, terjebak jalur sungai baru. Jalur sungai ini merupakan anak sungai dari Benanain. Desa ini juga perlu mendapat perhatian pemerintah.

Yohanes Seran, salah seorang pengungsi Weliman, mengatakan, pengungsi semakin kesulitan mendapatkan bahan makanan, sementara di kantor camat Weliman masih tersimpan 800 kilogram beras bantuan dari Pemerintah Kabupaten Belu. Beras 800 kg itu merupakan sisa bantuan Pemkab Belu sebanyak 2 ton yang dikirim pada pertengahan April 2011.

“Saya salah satu koordinator kamp pengungsian dan saya tahu persis. Beras itu tadinya 1.000 kg, tetapi terus menyusut sampai 700 kg, 300 kg hilang ke mana. Mereka yang pegang kunci di kantor itu paling tahu. Daripada terus berkurang, sebaiknya beras itu dibagikan saja kepada pengungsi yang semakin kesulitan makanan,” kata Seran.

Sejak 15 Maret 2011, para pengungsi baru mendapatkan bantuan beras dua kali dari Pemkab Belu, yaitu pada 17 Maret 2011 sebanyak 5 kg per keluarga dan 15 April 2011 sebanyak 10 kg per keluarga. Setelah itu, pengungsi mendapat bantuan dari luar, seperti para biarawati, paroki, SCTV Peduli, dan LSM.

Seran menjelaskan, pengungsi di Weliman ingin kembali ke desa asal setelah air Sungai Benanain kering. Tinggal di pengungsian selalu bergantung pada bantuan pihak lain. Para dermawan pun tidak mungkin terus membantu pengungsi.

Wakil Bupati Belu Ludovikus Taolin mengatakan, bantuan yang diberikan kepada pengungsi Weliman oleh Pemkab Belu sifatnya sementara, selama masa darurat yang berlangsung dua-tiga pekan. Mereka sudah berada di lokasi pengungsian selama satu bulan sehingga saat ini masuk masa pendampingan.

“Tidak mungkin selama menetap di Weliman mereka mendapat perhatian pemerintah. Saat ini pemerintah sedang berupaya membangun rumah sederhana sebanyak 413 unit untuk pengungsi,” kata Taolin.

Ia mengatakan, pemerintah tidak memberi izin warga pulang ke desa semula. Wilayah itu dijadikan lahan pertanian setelah air sungai surut. Jika masyarakat terus memaksakan diri pulang, risiko ditanggung sendiri.